Pasraman Jnana Sila Bhakti Batam

Mengapa Kita Berpuasa

Mengapa Kita Berpuasa Pada Hari Raya Nyepi 

Perayaan Nyepi sebagai awal dari tahun baru caka, adalah kegiatan spiritual yang berbeda dengan  perayaan tahun baru pada umumnya. Tidak ada suasana hiruk pikuk, tidak ada makanan enak,  tidak ada kegiatan berkumpul sampai pagi atau kegiatan kegiatan yang berdasarkan pada kesenangan indria - indria. Inilah keagungan dari perayaan hari raya Nyepi, kita justru diajak untuk hening dan merenungi keberadaan kita mendapatkan badan manusia.

Brata penyepian telah dirumuskan kembali oleh Parisada menjadi Catur Barata Penyepian yaitu:

1. Amati Geni (tidak menyalakan api termasuk memasak). Itu berarti melakukan upawasa (puasa).

2. Amati Karya (tidak bekerja). Hal ini berarti menyepikan indria.

3. Amati Lelungaan (tidak bepergian). Maknanya mengistirahatkan badan.

4. Amati Lelanguan (tidak mencari hiburan). 

Pada prinsipnya, saat Nyepi, panca indria kita diredakan dengan kekuatan manah dan budhi. Meredakan nafsu indria itu dapat menumbuhkan kebahagiaan yang dinamis sehingga kualitas hidup kita semakin meningkat. Bagi umat yang memiliki kemampuan yang khusus, mereka melakukan tapa yoga brata samadhi pada saat Nyepi itu.  Yang terpenting, makna dan pelaksanaan hari raya Nyepi dirayakan dengan kembali melihat diri dengan pandangan yang jernih dan daya nalar yang tinggi. Hal tersebut akan dapat melahirkan sikap untuk mengoreksi diri dengan melepaskan segala sesuatu yang tidak baik dan memulai hidup suci, hening menuju jalan yang benar atau dharma. Untuk melaksanakan Nyepi yang benar - benar spiritual, yaitu dengan melakukan upawasa, mona, dhyana dan arcana. Jadi upawasa atau tapasya sangat ditekankan pada hari raya Nyepi. Tanpa tapasya kita tidak akan bisa mendapatkan kemajuan dalam kehidupan spiritual atau kehidupan yang berpengetahuan.                       

Berpengetahuan artinya kita berbeda dari kehidupan binatang yang hanya mengenal, makan, tidur,  berketurunan dan mempertahankan diri. Tidak menerima proses upawasa ini, dapat diartikan kita gagal menjalankan kehidupan kita sebagai      manusia. Hanya dengan tapasya kita bisa menyelesaikan masalah hidup kita.  Tuhan Yang Maha Esa memberikan perintah dalam inkarnasi beliau sebagai Rsi Ṛṣabha Deva dalam        Bagavata Purana 5.5.1 

Nāyaṁ deho deha-bhājāṁ nṛloke Kaṣṭān kāmān arhate viḍ-bhujāṁ ye Tapo divyaṁ putrakā yena sattvaṁ Śuddhyed yasmād brahma-saukhyaṁ tv anantam   

Artinya: "Tuhan Ṛṣabha deva berkata kepada putra - putra Beliau“ Anak - anak Ku tersayang, semua mahluk hidup akan menerima salah satu badan material di dunia ini. Orang yang dianugrahi badan manusia ini tidak harus bekerja siang dan malam untuk memenuhi kepuasan indria - indria, karena kepuasan tersebut juga didapatkan pada badan binatang. Seseorang hendaknya berlatih melakukan tapasya untuk mendapatkan kedudukan rohani didalam melakukan pelayanan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan kegiatan tersebut, hati orang tersebut akan disucikan sehingga akan mencapai kebahagiaan yang kekal” Badan ini bersifat sementara, sebagai sang roh, kita adalah jiwa yang kekal dan berbahagia. Selama sang jiwa masih terikat dengan badan material ini, selamanya penderitaan akan mengiringi. Penderitaan kita akan kelahiran, penyakit, usia tua dan kematian akan selalu datang dan pergi seperti pergantian musim. Kehidupan sang jiwa yang sebenarnya adalah kehidupan yang kekal dimana tidak ada lagi kelahiran, kematian, penyakit dan usia tua. Inilah kehidupan pembebasan/ Moksa di Vaikunta Loka dimana sang roh tinggal dan melayani Ida Hyang Widhi Wasa/Narayana.

Selamat Hari Raya Nyepi Tahun Caka 1941. Mari kita melaksanakan Catur Brata Penyepian.

Om Sukinah Bhavantu. Semoga kita mendapatkan kebahagiaan dalam berbhakti kepada Ida Hyang Widhi Wasa.   

Jadwal Rangkaian Kegiatan Nyepi Caka 1941 (2019) di Batam.

1. Melasti, Minggu - 03 Maret 2019

2. Pengerupukan, Rabu - 06 Maret 2019

3. Nyepi, Kamis - 07 Maret 2019

4. Ngembak Geni, Jumat - 08 Maret 2019

5. Dharma Santi, Minggu - 24 Maret 2019

Panitia Nyepi Caka 1941,src : inputbali.com

Last Updated on Tuesday, 26 February 2019 03:42

Hits: 1864

Asal Usul dan Arti Nama Orang Bali

Beritabali.com, Denpasar. Jika Anda sedang berada di Bali, Anda tentu sering mendengar nama-nama khas Bali mulai Wayan, Made, Nyoman, Ketut, Ida Bagus, dan sebagainya. Semua nama itu ternyata ada artinya.

Kita mulai dulu dengan sebutan I dan Ni pada nama-nama orang Bali. Huruf I di depan nama Wayan misalnya, adalah kata sandang yang bermakna laki-laki. Sementara kata sandang penanda kelamin perempuan adalah Ni. I dan Ni juga bermakna seorang lelaki dan wanita dari keluarga masyarakat kebanyakan, tidak berkasta atau biasa disebut orang jaba. Jika ia terlahir di keluarga penempa besi,  maka orang Bali ini bernama Pande. Bila di depan Wayan gelarnya Ida Bagus, ia tentu terlahir di keluarga Brahmana. Ida Bagus berarti yang Tampan atau Terhormat.  Jika saja ia digelari Anak Agung, maka ia lahir di keluarga bangsawan.

Nama Wayan berasal dari kata “wayahan" yang artinya yang paling matang.  Titel anak kedua adalah Made yang berakar dari kata "Madia" yang artinya tengah. Anak ketiga dipanggil Nyoman yang secara etimologis berasal dari kata "uman" yang bermakna “sisa” atau “akhir”.  Jadi menurut pandangan hidup orang Bali, sebaiknya sebuah keluarga memiliki tiga anak saja.  Setelah beranak tiga, kita disarankan untuk lebih “bijaksana”. Namun zaman dahulu, obat herbal tradisional kurang efektif untuk mencegah kehamilan, coitus interruptus tidak layak diandalkan, dan aborsi selalu dipandang jahat, sehingga sepasang suami istri mungkin saja memiliki lebih dari tiga anak.

Anak keempat gelarnya Ketut. Ia berasal dari kata kuno "Kitut" yang berarti sebuah pisang kecil di ujung terluar dari sesisir pisang. Ia adalah anak "bonus" yang tersayang. Karena program KB yang dianjurkan pemerintah, semakin sedikit orang Bali yang bernama Ketut. Itu sebabnya ada kekhawatiran dari sementara orang Bali akan punahnya sebutan kesayangan ini.

Menurut situs balirustique.com, orang Bali memiliki sebuah tabu atau pantangan bahwa petani tidak boleh menyebut kata tikus, yang di Bali disebut bikul, jika sedang ada  di sawah. Menyebut tikus di sawah, dipercaya bagai mantra yang bisa memanggil tikus. Untuk itu jika sedang di sawah, orang memanggilnya dengan julukan spesial  ” Jero Ketut”.  Ia bermakna tuan kecil. Ini berangkat dari pandangan bahwa tikus bagimanapun juga adalah bagian dari keseimbangan alam.

Bila keluarga berencana gagal, dan sebuah keluarga memiliki lebih dari empat anak, maka mulai dari anak kelima, orang Bali mengulang siklus titel di atas. Anak kelima bergelar Wayan, keenam Made, dan seterusnya.

Namun jika bicara lebih rinci, ketiga titel hirarki kelahiran orang Bali memiliki sinonim; untuk Wayan: Putu, Kompiang, atau Gede; untuk Made: Kadek atau Nengah; untuk Nyoman: Komang. Sementara nama Ketut yang istimewa tak bersinonim.

Seperti orang Jawa, orang Bali tidak memiliki nama marga atau nama keluarga (family name).  Jadi kalau dilihat dari kaca mata orang barat, orang Bali hanya memiliki first name tanpa family name. Konon ini memudahkan orang untuk menyamar di waktu perang.  Bahkan bila terpaksa, setelah kekalahan militer, seorang bangsawan bisa mengaku sebagai orang kebanyakan. Dan seluruh keturunannya pun terpaksa memakai titel I atau Ni.

Meski tidak mengenal nama marga atau fam, ada juga orang Bali yang yang turun temurun dengan jelas menambahkan nama marga atau sub marga sepeti  Dusak, Pendit, dan lain lain di belakang nama depan . Misalnya saja (hanya rekayasa), Wayan Sujana Pendit.  Di jaman modern ketika nama keluarga jadi penting untuk urusan paspor atau kalau tinggal di luar negeri, beberapa keluarga Bali yang progresif membuat nama marga baru yang biasanya diambil dari nama seorang ayah yang berpendidikan tinggi dan “sukses”.

Banyak hal yang berubah di Bali sejak  kemerdekaan Indonesia. Bila di zaman dulu orang menamai anaknya sekehendak hati, sering tanpa arti, atau hanya onomatope, di zaman sekarang ini, orang-orang mulai ramai memakai nama yang berasal dari bahasa Sanskerta. Ada juga nama orang Bali kini yang sudah 'bernuansa' barat seperti misal I Ketut Bobby atau Ni Luh Ayu Cindy. (bbcom/berbagai sumber)

Last Updated on Saturday, 18 May 2013 02:04

Hits: 6702

"Hari Raya Pagerwesi"

Kata "pagerwesi" artinya pagar dari besi. Ini
me-lambangkan suatu perlindungan yang kuat. Segala sesuatu yang dipagari
berarti sesuatu yang bernilai tinggi agar jangan mendapat gangguan atau
dirusak. Hari Raya Pagerwesi sering diartikan oleh umat Hindu sebagai hari
untuk memagari diri yang dalam bahasa Bali disebut magehang awak. Nama
Tuhan yang dipuja pada hari raya ini adalah Sanghyang Pramesti Guru.
Sanghyang Paramesti Guru adalah nama lain dari Dewa Siwa sebagai
manifestasi Tuhan untuk melebur segala hal yang buruk. Dalam kedudukannya
sebagai Sanghyang Pramesti Guru, beliau menjadi gurunya alam semesta terutama
manusia. Hidup tanpa guru sama dengan hidup tanpa penuntun, sehingga tanpa arah
dan segala tindakan jadi ngawur.
Hari Raya Pagerwesi dilaksanakan pada hari Budha (Rabu) Kliwon
Wuku Shinta. Hari raya ini dilaksanakan 210 hari sekali. Sama halnya dengan
Galungan, Pagerwesi termasuk pula rerahinan gumi, artinya hari raya
untuk semua masyarakat, baik pendeta maupun umat walaka. Dalam lontar Sundarigama disebutkan:
"Budha Kliwon Shinta Ngaran Pagerwesi
payogan Sang Hyang Pramesti Guru kairing ring watek Dewata Nawa Sanga
ngawerdhiaken sarwa tumitah sarwatumuwuh ring bhuana kabeh."
Artinya:
Rabu Kliwon Shinta disebut Pagerwesi sebagai pemujaan Sang Hyang
Pramesti Guru yang diiringi oleh Dewata Nawa Sanga (sembilan dewa) untuk
mengembangkan segala yang lahir dan segala yang tumbuh di seluruh dunia.
Pelaksanaan upacara/upakara Pagerwesi sesungguhnya titik
beratnya pada para pendeta atau rohaniawan pemimpin agama. Dalam lontar Sundarigama disebutkan:
Sang Purohita ngarga apasang lingga
sapakramaning ngarcana paduka Prameswara. Tengahiwengi yoga samadhi ana labaan
ring Sang Panca 0Maha Bhuta, sewarna anut urip gelarakena ring natar sanggah.
Artinya:
Sang Pendeta hendaknya ngarga dan mapasang lingga sebagaimana
layaknya memuja Sang Hyang Prameswara (Pramesti Guru). Tengah malam melakukan
yoga samadhi, ada labaan (persembahan) untuk Sang Panca Maha Bhuta, segehan
(terbuat dari nasi) lima warna menurut uripnya dan disampaikan di halaman
sanggah (tempat persembahyangan).
Hakikat pelaksanaan upacara Pegerwesi adalah lebih ditekankan
pada pemujaan oleh para pendeta dengan melakukan upacara Ngarga dan Mapasang
Lingga.
Tengah malam umat dianjurkan untuk melakukan meditasi (yoga dan
samadhi). Banten yang paling utama bagi para Purohita adalah "Sesayut
Panca Lingga" sedangkan perlengkapannya Daksina, Suci Praspenyeneng dan
Banten Penek. Meskipun hakikat hari raya Pagerwesi adalah pemujaan (yoga samadhi)
bagi para Pendeta (Purohita) namun umat kebanyakan pun wajib ikut merayakan
sesuai dengan kemampuan. Banten yang paling inti perayaan Pegerwesi bagi
umat kebanyakan adalah natab Sesayut Pagehurip, Prayascita, Dapetan. Tentunya
dilengkapi Daksina, Canang dan Sodaan. Dalam hal upacara, ada dua hal banten pokok yaitu Sesayut Panca Lingga untuk upacara para pendeta dan Sesayut Pageh
Urip bagi umat kebanyakan.
Makna Filosofi
Sebagaimana telah disebutkan dalam lontar Sundarigama, Pagerwesi yang jatuh pada Budha Kliwon Shinta merupakan hari Payogan Sang Hyang
Pramesti Guru diiringi oleh Dewata Nawa Sangga. Hal ini mengundang makna bahwa
Hyang Premesti Guru adalah Tuhan dalam manifestasinya sebagai guru sejati.
Mengadakan yoga berarti Tuhan menciptakan diri-Nya sebagai guru.
Barang siapa menyucikan dirinya akan dapat mencapai kekuatan yoga dari Hyang
Pramesti Guru. Kekuatan itulah yang akan dipakai memagari diri. Pagar yang
paling kuat untuk melindungi diri kita adalah ilmu yang berasal dari guru
sejati pula. Guru yang sejati adalah Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu inti dari
perayaan Pagerwesi itu adalah memuja Tuhan sebagai guru yang sejati. Memuja
berarti menyerahkan diri, menghormati, memohon, memuji dan memusatkan diri. Ini
berarti kita harus menyerahkan kebodohan kita pada Tuhan agar beliau sebagai
guru sejati dapat megisi kita dengan kesucian dan pengetahuan sejati.
Pada hari raya Pagerwesi adalah hari yang paling baik
mendekatkan Atman kepada Brahman sebagai guru sejati . Pengetahuan sejati
itulah sesungguhnya merupakan "pager besi" untuk melindungi hidup
kita di dunia ini. Di samping itu Sang Hyang Pramesti Guru beryoga bersama
Dewata Nawa Sanga adalah untuk "ngawerdhiaken sarwa tumitah muang sarwa
tumuwuh."
Ngawerdhiakenartinya mengembangkan. Tumitah artinya yang ditakdirkan atau yang
terlahirkan. Tumuwuh artinya tumbuh-tumbuhan.
Mengembangkan hidup dan tumbuh-tumbuhan perlulah kita berguru
agar ada keseimbangan.
Dalam Bhagavadgita disebutkan ada tiga sumber kemakmuran
yaitu:
Krsiyang artinya pertanian (sarwa
tumuwuh).
Goraksya,artinya peternakan atau
memelihara sapi sebagai induk semua hewan.
Wanijyam,artinya perdagangan.
Berdagang adalah suatu pengabdian kepada produsen dan konsumen. Keuntungan yang
benar, berdasarkan dharma apabila produsen dan konsumen diuntungkan.
Kalau ada pihak yang dirugikan, itu berarti ada kecurangan. Keuntungan yang
didapat dari kecurangan jelas tidak dikehendaki dharma.
Kehidupan tidak terpagari apabila tidak berkembangnya sarwa
tumitah dan sarwa tumuwuh. Moral manusia akan ambruk apabila manusia
dilanda kemiskinan baik miskin moral maupun miskin material. Hari raya
Pagerwesi adalah hari untuk mengingatkan kita untuk berlindung dan berbakti
kepada Tuhan sebagai guru sejati. Berlindung dan berbakti adalah salah satu
ciri manusia bermoral tanpa kesombongan.
Mengembangkan pertanian dan peternakan bertujuan untuk memagari
manusia dari kemiskinan material. Karena itu tepatlah bila hari raya Pagerwesi
dipandang sebagai hari untuk memerangi diri dengan kekuatan meterial. Kalau
kedua hal itu (pertanian dan peternakan) kuat, maka adharma tidak dapat
masuk menguasai manusia. Yang menarik untuk dipahami adalah Pagerwesi adalah
hari raya yang lebih diperuntukkan para pendeta (sang purohita). Hal ini dapat
dipahami, karena untuk menjangkau vibrasi yoga Sanghyang Pramesti Guru tidaklah
mudah. Hanya orang tertentu yang dapat menjangkau vibrasi Sanghyang Pramesti
Guru. Karena itu ditekankan pada pendeta dan beliaulah yang akan melanjutkan
pada masyarakat umum. Dalam agama Hindu, purohita adalah adi guru loka yaitu guru utama dari masyarakat. Sang Purohita-lah yang lebih mampu
menggerakkan atma dengan tapa brata.
Dalam Manawa Dharmasastra V, 109 disebutkan:
Atma dibersihkan dengan tapa bratabudhi
dibersihkan dengan ilmu pengetahuan (widia) manah (pikiran) dibersihkan dengan
kebenaran dan kejujuran yang disebut satya.
Penjelasan Manawa Dharmasastra ini adalah bahwa atma yang
tidak diselimuti oleh awan kegelapan dari hawa nafsu akan dapat menerima
vibrasi spiritual dari Brahman. Vibrasi spiritual itulah sebagai pagar besi
dari kehidupan dan itu pulalah guru sejati. Karena itu amat ditekankan pada
Hari Raya Pagerwesi para pendeta agar ngarga, mapasang lingga.
Ngargaadalah suatu tempat untuk
membuat tirtha bagi para pendeta. Sebelum membuat tirtha, terlebih dahulu
pendeta menyucikan arga dengan air, dengan pengasepan sampai
disucikan dengan mantra-mantra tertentu sehingga tirtha yang dihasilkan
betul-betul amat suci. Pembuatan tirtha dalam upacara-upacara besar dilakukan
dengan mapulang lingga. Tirtha suci itulah yang akan dibagikan kepada
umat. Mengingat ngargha mapasang lingga dianjurkan oleh lontar Sundarigama pada hari Pagerwesi ini, berarti para pendeta harus melakukan hal yang amat utama
untuk mencapai vibrasi spiritual payogan Sanghyang Pramesti Guru.
Sesayut Panca Lingga dengan inti ketipat Lingga adalah memohon
lima manifestasi Siwa untuk memberikan benteng kekuatan (pager besi) dalam
menghadapi hidup ini. Para pendetalah yang mempunyai kewajiban menghadirkan
lebih intensif dalam masyarakat. Kemahakuasaan Tuhan dalam manifestasinya
sebagai Siwa dengan simbol Panca Lingga, Sesayut Pageh Urip bagi
kebanyakan atau umat yang masih walaka. Kata "pageh" artinya
"pagar" atau "teguh" sedangkan "urip" artinya
"hidup". "Pageh urip" artinya hidup yang teguh atau hidup
yang terlindungi. Kata "sesayut" berasal dari bahasa Jawa dari kata
"ayu" artinya selamat atau sejahtera.
Natab Sesayutartinya mohon keselamatan atau kerahayuan. Banten Sesayut memakai alas sesayut yang bentuknya bundar dan maiseh dari daun kelapa. Bentuk ini
melambangkan bahwa untuk mendapatkan keselamatan haruslah secara bertahap dan
beren-cana. Tidak bisa suatu kebaikan itu diwujudkan dengan cara yang ambisius.
Demikianlah sepintas filosofi yang terkandung dalam lambang upacara Pagerwesi.
Di India, umat Hindu memiliki hari raya yang disebut Guru
Purnima dan hari raya Walmiki Jayanti. Upacara Guru Purnima pada intinya adalah
hari raya untuk memuja Resi Vyasa berkat jasa beliau mengumpulkan dan
mengkodifikasi kitab suci Weda. Resi Vyasa pula yang menyusun Itihasa Mahabharatha dan Purana. Putra Bhagawan Parasara itu pula yang mendapatkan wahyu
ten-tang Catur Purusartha yaitu empat tujuan hidup yang kemudian diuraikan
dalam kitab Brahma Purana.
Berkat jasa-jasa Resi Vyasa itulah umat Hindu setiap tahun
merayakan Guru Purnima dengan mengadakan persembahyangan atau istilah di India
melakukan puja untuk keagungan Resi Vyasa dengan mementaskan berbagai episode
tentang Resi Vyasa. Resi Vyasa diyakini sebagai adi guru loka yaitu
gurunya alam semesta.
Sedangkan Walmiki Jayanti dirayakan setiap bulan Oktober pada
hari Purnama. Walmiki Jayanti adalah hari raya untuk memuja Resi Walmiki yang
amat berjasa menyusun Ramayana sebanyak 24.000 sloka. Ke-24. 000 sloka Ramayana itu dikembangkan dari Tri Pada Mantra yaitu bagian inti dari Savitri
Mantra yang lebih populer dengan Gayatri Mantra. Ke-24 suku kata
suci dari Tri Pada Mantra itulah yang berhasil dikembangkan menjadi
24.000 sloka oleh Resi Walmiki berkat kesuciannya. Sama dengan Resi Vyasa, Resi
Walmiki pun dipuja sebagai adi guru loka yaitu maha gurunya alam
semesta.
Sampai saat ini Mahabharata dan Ramayana yang
disebut itihasa adalah merupakan pagar besi dari manusia untuk melindungi dirinya
dari serangan hawa nafsu jahat.
Jika kita boleh mengambil kesimpulan, kiranya Hari Raya
Pagerwesi di Indonesia dengan Hari Raya Guru Purnima dan Walmiki Jayanti
memiliki semangat yang searah untuk memuja Tuhan dan resi sebagai guru yang
menuntun manusia menuju hidup yang kuat dan suci. Nilai hakiki dari perayaan
Guru Purnima dan Walmiki Jayanti dengan Pegerwesi dapat dipadukan. Namun
bagaimana cara perayaannya, tentu lebih tepat disesuaikan dengan budaya atau
tradisi masing-masing tempat. Yang penting adalah adanya pemadatan nilai atau
penambahan makna dari memuja Sanghyang Pramesti Guru ditambah dengan
memperdalam pemahaman akan jasa-jasa para resi, seperti Resi Vyasa, Resi
Walmiki dan resi-resi yang sangat berjasa bagi umat Hindu di Indonesia.


Semoga Bermanfaat.  Sumber : HD Net (Jero Mangku Sudiada)

Last Updated on Wednesday, 16 January 2013 04:36

Hits: 4045

Makna Universal Om Swastyastu

Oleh: I Wayan Sudarma, S.Ag

Om Swastyastu

UMAT Hindu di Indonesia, kalau saling berjumpa dengan sesamanya, umumnya mengucapkan Om Swastyastu.Selanjutnya perlu kita pahami bersama makna apa yang berada di balik ucapan Om Swastyastu tersebut. Umat Hindu di India umumnya mengucapkan Namaastu kalau bertemu dengan sesamanya. Bahkan, ucapan itu dilakukan secara umum oleh masyarakat India. Para pandita maupun pinandita dalam memanjatkan pujastawa sering kita dengar menutup pujastawanya dengan Om namo namah. Inti semua ucapan itu pada kata nama, yang dalam bahasa Sanskerta artinya menghormat. Dalam bahasa Jawa Kuno disebut dengan sembah.Kata sembah dalam bahasa Jawa Kuno memiliki lima arti. Sembah berarti menghormati, menyayangi, memohon, menyerahkan diri dan menyatukan diri. Karena itu, umat Hindu di Bali mengenal adanya Panca Sembah yang diuraikan dalam lontar Panca Sembah. Dalam tradisi Hindu di Bali ada sembah ke bhuta, ke manusa, ke pitra, ke dewa dan
 Hyang Widhi.Kalau menyembah bhuta atau alam semesta tangan dicakupkan di pusar. Sembah seperti itu berarti untuk mencurahkan kasih sayang kita pada alam untuk menjaga kelestariannya. Menyembah sesama atau pitra, mencakupkan tangan di dada. Sembah seperti itu adalah untuk menghormati sesama manusia. Menyembah dewa tangan dicakupkan di selaning lelata yaitu di antara kening di atas mata. Hanya menyembah Tuhanlah tangan dikatupkan dengan sikap anjali di atas ubun-ubun. Ini artinya hanya menyembah Tuhanlah kita serahkan diri secara bulat dan satukan diri sepenuh hati.Salam Om Swastyastu yang ditampilkan dalam bahasa Sanskerta dipadukan dari tiga kata yaitu: Om, swasti dan astu. Istilah Om ini merupakan istilah sakral sebagai sebutan atau seruan pada Tuhan Yang Mahaesa. Om adalah seruan yang tertua kepada Tuhan dalam Hindu. Setelah zaman Puranalah Tuhan Yang Mahaesa itu diseru dengan ribuan nama. Kata Om sebagai seruan suci kepada Tuhan yang memiliki tiga
 fungsi kemahakuasaan Tuhan. Tiga fungsi itu adalah, mencipta, memelihara dan mengakhiri segala ciptaan-Nya di alam ini. Mengucapkan Om itu artinya seruan untuk memanjatkan doa atau puja dan puji pada Tuhan.Dalam Bhagawadgiita kata Om ini dinyatakan sebagai simbol untuk memanjatkan doa pada Tuhan. Karena itu mengucapkan Om dengan sepenuh hati berarti kita memanjatkan doa pada Tuhan yang artinya ya Tuhan.Setelah mengucapkan Om dilanjutkan dengan kata swasti. Dalam bahasa Sansekerta kata swasti artinya selamat atau bahagia, sejahtera. Dari kata inilah muncul istilah swastika, simbol agama Hindu yang universal. Kata swastika itu bermakna sebagai keadaan yang bahagia atau keselamatan yang langgeng sebagai tujuan beragama Hindu. Lambang swastika itu sebagai visualisasi dari dinamika kehidupan alam semesta yang memberikan kebahagiaan yang langgeng.Menurut ajaran Hindu alam semesta ini berproses dalam tiga tahap. Pertama, alam ini dalam keadaan tercipta yang
 disebut Srsti. Kedua, dalam keadaan stabil menjadi tempat dan sumber kehidupan yang membahagiakan. Keadaan alam yang dinamikanya stabil memberikan kebahagiaan itulah yang disebut swastika. Dalam istilah swastika itu sudah tersirat suatu konsep bahwa dinamika alam yang stabil itulah sebagai dinamika yang dapat memberikan kehidupan yang bahagia dan langgeng. Dinamika alam yang stabil adalah dinamika yang sesuai dengan hak asasinya masing-masing. Ketiga, adalah alam ini akan kembali pada Sang Pencipta. Keadaan itulah yang disebut alam ini akan pralaya atau dalam istilah lain disebut kiamat.Kata astu sebagai penutup ucapan Swastyastu itu berarti semoga. Dengan demikian Om Swastyastu berarti: Ya Tuhan semoga kami selamat. Tentu, tidak ada manusia yang hidup di dunia ini tidak mendambakan keselamatan atau kerahayuan di bumi ini.Jadi, salam Om Swastyastu itu, meskipun ia terkemas dalam bahasa Sansekerta bahasa pengantar kitab suci Veda, makna yang terkandung
 di dalamnya sangatlah universal. Pada hakikatnya semua salam yang muncul dari komunitas berbagai agama memiliki arti dan makna yang universal. Yang berbeda adalah kemasan bahasanya sebagai ciri khas budayanya. Dengan Om Swastyastu itu doa dipanjatkan untuk keselamatan semua pihak tanpa kecuali.Salam Om Swastyastu itu tidak memilih waktu. Ia dapat diucapkan pagi, siang, sore dan malam. Semoga salam Om Swastyastu bertuah untuk meraih karunia Tuhan memberikan umat manusia keselamatan.Dalam pengucapan salam Om Swastyastu diikuti dengan sikap tangan Anjali (cakupan kedua telapak tagan di depan dada), makanya salam ini juga dikenal dengan nama Salam Panganjali

Om Santih Santih Santih Om
Source: www.dharmavada.wordpress.com

Last Updated on Friday, 17 May 2013 01:26

Hits: 4356

Jodoh : Takdir Atau Karma ?

Om Swastiastu

Saya dibesarkan di lingkungan Islam. Saya memutuskan memilih agama Hindu ketika saya masih dalam usia –yang orang bilang- premature. Too early. Tapi bagi saya, tidak ada kata premature sebab Hindu telah menyentuh kebutuhan rohani saya yang paling dasar. Saya menemukan Hindu tanpa guru, tanpa bantuan orang lain, namun itulah yang membuat saya bangga karena dengan demikian, berarti saya mengambil keputusan besar ini tanpa intervensi siapapun.

 

Usia saya sekarang 22 tahun. Pada usia 21 tahun, saya jatuh cinta pada seorang cowok muslim. Sebut saja namanya Fre. Bukan orang baru, dia cinta pertama saya di sekolah menengah, sekaligus teman sejak SD. Bersamanya, saya merasakan cinta yang sungguh- sungguh terhadap seorang lelaki. Semua ego runtuh di hadapannya. Hampir setahun, saya mengalami masa penuh pergolakan, perang batin, jungkir balik tidak karuan. Saat itu, hidup hanya memberi saya dua pilihan. Jika saya pilih Hindu, saya harus melepaskan dia (dan mengecewakan keluarga sekali lagi). Jika memilih Islam, saya dapat melewatkan waktu bersamanya, sekaligus membahagiakan keluarga karena mereka mengharapkan saya kembali (namun dengan mempertaruhkan amanastuti saya sendiri). 

Pada masa itu, saya berpikir keras, kenapa jalan hidup membawa saya pada situasi seperti ini? Dalam benak saya, ada pertanyaan yang sangat mengusik, “Jodoh, takdir atau karma?”. Ajaran agama sebelumnya jelasjelas menyatakan jodoh adalah takdir. Namun dalam hati masih terasa mengganjal. Memerlukan cukup waktu hingga akhirnya saya temukan jawaban ini (mohon maaf sebelumnya, pendapat ini bersifat subyektif ). Jodoh itu bukan takdir, tapi karmapala! 

 

Apa alasannya?

Saya, bisa saja meraih Fre dalam pelukan saya, lalu kembali pada ajaran keluarga sambil mengatakan, “ini sudah jalannya”. Tapi apa yang ada di balik itu? Sebuah kemunafikan besar, menggunakan ‘jalannya’ Tuhan untuk mengelak dan menempatkannya sebagai pembenar atas tindakan yang saya lakukan. Kenyataan ini seperti pecut yang menampar muka saya sendiri.

 

Dalam kondisi pikiran yang jernih, saya dapat mendengar suara dalam hati yang jelas-jelas mengatakan, “Aku tidak ingin menukar Tuhan dengan apapun!”. Sadarkah kita, kita seringkali mengabaikan suara hati ketika pikiran kita sedemikian fokus terhadap suatu target. Mungkin, ini jugalah yang disebut maya itu.

 

Saya sadar betul bahwa selalu ada konsekuensi dari tiap tindakan. Dan keputusan yang saya ambil adalah, saya mempertahankan keHinduan saya. Efeknya, saya tidak dapat melanjutkan hubungan saya dengan Fre, dan mungkin saya lagi-lagi mengecewakan Bapak, Ibu, adik-adik, serta segenap keluarga besar.

 

Saya menangis, tentu saja. Hati saya hancur kehilangan Fre, saya sedih melihat keluarga harus ikut menanggung dampak moral dan sosial atas tindakan yang saya lakukan. Tapi inilah keputusan saya. Dari pengalaman ini, saya percaya jodoh itu hasil perjuangan, bukan ketentuan Tuhan. Mengapa? Sebab, sebetulnya saya bisa memiliki Fre jika saya bersedia melakukan satu hal; melepaskan keHinduan saya. Namun tidak saya lakukan. Karena apa? Karena saya tidak mau. Itulah kuncinya.

 

Saudara-saudaraku sedharma, melalui catatan ini saya ingin berpesan pada Anda sekalian, terutama untuk temanteman yang sedang mencari pasangan hidup, yang sedang merantau di tengah lingkungan umat berkeyakinan lain, yang merasa berdiri sebagai minoritas, yang sedang mengalami sindrom rendah diri agama, atau bahkan bagi yang mungkin saat ini sedang menimbang-nimbang untuk pindah ke agama lain; sadarkah kita, Sanatana Dharma adalah permata yang dunia miliki. “Rahmatan Lil Alamin” (rahmat bagi sekalian alam) yang sesungguhnya, bukan hanya “Rahmatan Lil Hindu”. Brahman yang kita kenal adalah figur Tuhan yang tidak memilih, tidak pernah membeda-bedakan.

 

Mungkin, dari kalimat “tidak pernah membeda-bedakan”, saya bisa  menggunakannya sebagai dalih untuk pindah ke agama lain. Tapi dengan mengetahui kualitas Tuhan-Tuhan” dari agama lain itu, dengan tegas saya akan mengatakan, “Saya tidak mau memiliki Tuhan seperti itu!”. Om Ekam Evam Advityam Brahman. Hanya Brahman yang saya kenal sebagai sejatinya Tuhan. Tuhan bagi seluruh semesta, bukan hanya Tuhan satu kaum.

 

Teman, saya sungguh berharap catatan ini dapat memberikan sedikit manfaat bagi Anda yang membacanya. Saat ini, saya terus berusaha membuktikan pada keluarga bahwa keputusan saya memeluk Hindu bukanlah keputusan bodoh. Hindu telah merombak total mindset saya yang dulu penuh ego ahamkara.

 

Teman, banggalah menjadi seorang Hindu. Sebab kita tengah bernaung dalam ajaran induk dari semua ajaran. Saya yakin, setiap dari Anda pernah menghadapi situasi sulit yang memaksa Anda mengambil sebuah keputusan pahit. Tapi saya pun yakin, semuanya adalah proses untuk menjadikan kita lebih dewasa. Gita mengajarkan, orang bijak tidak terlalu terlarut dalam kesedihan ataupun kesenangan. Lihat sisi positif dari apapun yang kita hadapi. Daripada menyesali pintu yang sudah tertutup, bukankah lebih baik mencari pintu lain yang terbuka? Life must going on, apapun yang kita perjuangkan, karmapalanya akan kembali.

 

Mulai saat ini, semoga tidak pernah lagi terbesit dalam benak kita untuk cenderung menuding Tuhan atas apapun yang kita alami. Mulat sarira, rubah mindset Anda. Legowo menerima hasil dari perbuatan kita sendiri akan terasa jauh lebih melegakan sekaligus membentuk diri kita untuk lebih mampu bersikap ksatria. Mungkin benar, kita tidak tahu karma apa yang kita bawa dari masa lalu. Tapi minimal, kita bisa melihat hasil dari apa yang kita dapat merupakan hasil dari tindakan kita sekarang. Be positive, do positive. Tidak akan ada yang sia-sia. Om Santih Santih Santih Om.

 

Gentha Apritaura, lahir 24 April 1988 di Jakarta. Menjalani hidup berpindah-pindah ke Medan, Banda Aceh, Surabaya, Jayapura dan Madura. Kembali ke Surabaya untuk kuliah di DIII Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga pada tahun 2006. Memilih untuk memeluk Hindu tahun 2008. Melaksanakan Sudhi Wadani pada Februari 2009 di Pare, Kediri. Saat ini bekerja sebagai Radiografer di sebuah Laboratorium Klinik di Surabaya. Dapat dihubungi di This e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. atau no ponsel 081330505484.

Redaksi.

 

Gentha Apritaura, selamat datang di jalan dharma. Anda menjadi Genta bagi para pemuda dan pemudi Hindu. Bravo!

 

Last Updated on Thursday, 10 January 2013 07:51

Hits: 3990